Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, saat membuka rapat pimpinan nasional (rapimnas) di Hotel Ritz Carlton beberpa waktu lalu mengatakan partainya membebaskan biaya dalam Pilkada 2020.

Pernyataan itu keluar di tengah usulan untuk mengevaluasi pilkada langsung yang membuat sebagaian besar warga menduga adanya keinginan partai politik kembali ke pilkada tidak langsung alias melalui DPRD.

Namun, apa yang diungkap Airlangga sebenarnya retorika elit politik. Sebab pada kenyataanya, mahar politik di tingkat daerah tetap berlaku. Beberapa waktu lalu, seorang calon bupati menceritakan kegalauannya soal biaya jika dirinya maju sebagai bupati di Pilkada 2020.

Meski sebagaian besar keluarga dan kolega politiknya mendukung, dia pun memutuskan untuk mendaftar sebagai calon wakil bupati.

“Jujur soal biaya kita kalah, maka saya putuskan untuk tetap jadi calon wakil bupati,” katanya.

Wacana evaluasi langsung dinyatakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian beberapa waktu lalu. Evaluasi langsung muncul berdasarkan rekomendasi dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap sistem pilkada langsung yang sudah berjalan selama 15 tahun.

Tito menegaskan perlunya evaluasi karena yang sistem yang berjalan selama ini lebih banyak dampak negatifnya. Yakni biaya tinggi, rentan konflik, dan maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah dan sebagainya.

“Konstitusi memang merumuskan bahwa pemilhan gubernur/bupati/wali kota secara demokratis. Awal-awalnya setelah amandemen, kita masih pakai rejim Orba yaitu melalui DPRD. Kemudian dirubah ke mekanisme langsung, dan sukses. Dengan catatan waktu itu ialah harus dievaluasi. Menurut saya evaluasi sudah saatnya dilakukan. Dan evaluasi ya jelas tidak  berarti kembali ke DPRD,” kata pakar filsafat politik dari Unika Widya Mandira Kupang, Norbertus Jegalus saat dihubungi Tajukflores.com melalui sambungan telpon, Jakarta, Jumat (22/11).

Norbertus mengatakan bahwa evaluasi terhadap pilkada langsung sangat perlu dilakukan. Namun dia meyakini terjadi penolakan besar dari masyarakat apabila pemilihan kembali melalui DPRD. Alasannya, hal yang dibenci oleh rakyat selama ini adalah budaya sogok atau penyuapan terhadap DPRD. Selain itu, partisipasi rakyat dalam pilkada sangat subsantif, dan secara langsung melegitimasi pemimpin yang dipilihnya.

“Saya yakin sekali akan ada ledakan civil society kalau itu kembali kepada DPRD. Memang akan muncul argumentasi dari parpol bahwa sistem langsung dan tidak langsung itu demokratis. Betul, tetapi rakyat, melalui pilkada langsung menunjukan sungguh dihargai hak-nya. Dan itu sangat otoritatf. Jadi saya yakin sekali nanti ada penolakan,” kata dia. 

Norbertus menilai dampak negatif biaya yang diutarakan Tito benar adanya. Namun hal itu tidak mengandaikan bahwa pemilihan melalui DPRD tanpa biaya. Dia mengaku belum melihat hasil penelitian akademis yang menyatakan pemilihan melalui DPRD akan murah. Justru, kata dia, pemilihan melalui DPRD akan menjadi lahan bancakan partai politik untuk mendapat keuntungan dari calon yang mendaftar.

“Sebelum partai-partai ini sungguh-sungguh demokratis, mereka ini fungsinya seperti PT (Perseoran terbatas). Dan itu lah kesempatan bagi mereka untuk meraih apa saja yang mereka butuhkan dari para calonnya,” ujar pria yang mendirikan sekolah demokrasi di NTT ini.

Norbertus mengatakan, pemilihan melalui DPRD juga tetap membutuhkan biaya yang tak murah. Setelah lolos mendapat pintu dari partai politik, calon tersebut juga pasti mengeluarkan biaya untuk anggota DPRD yang akan memilihnya.

“Dari pengamatan dan kenyataan yang sudah terjadi, itu tidak otomatis. Partai dibayar, kemudian orang-orang di DPRD juga pasti dibayar,” ujarnya.

Menurut dia, pengakuan para kepala daerah yang mengatakan tanpa mahar atau menyebut dengan angka yang paling kecil hanya retorika politik. Sebab, mereka tentu tidak akan menjawabnya secara jujur. Pada umumnya mereka telah mengeluarkan biaya untuk pendaftaran, kampanye, sosialiasi dan termasuk membayar saksi di tempat pemungutan suara (TPS).