Agas mengatakan, tanggapan masyarakat selama ini seolah-olah pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok itu sudah berjalan. Meski sudah mengeluarkan izin lokasi, rencana pembangunan pabrik semen tersebut belum mengantongi izin tambang sama sekali.

“Tapi di tempat pabriknya. Di Luwuknya yang sudah keluar (izin). Sedangkan izin untuk tambang bukan kewenangan bupati. Orang selalu berpikir bahwa oh sudah jadi ini tambang. Belum,” kata Agas.

Ferdy Hasiman, peneliti di Lembaga Alpha Research Database Jakarta menduga pabrik semen di Manggarai Timur nantinya hanya penyamaran atau kamuflase. Dia menduga sebenarnya yang diincar ialah tambang mangan.

Ferdy mengatakan belum ada kalkulasi biaya investasi dan keuntungan. Selain itu, biaya lingkungan dan kerusakan alam dari investasi juga belum dihitung dengan cermat.

“Biaya lingkungan hidup harus masuk dalam basis perhitungan investasi,” kata putra asli Matim yang berdomisili di Jakarta itu.

Menurut Ferdy, jika pembangunan itu benar-benar beroperasi nantinya maka bisa dipastikan investornya tidak memakai hitungan komprehensif.

“Memang pasar semen Flores berapa sih? Dominasi Semen Indonesia untuk Indonesia timur belum bisa tertandingi,” tegasnya mengutip Voxntt.

Ferdy meyakini dana investor untuk membangun pabrik semen di Lingko Lolok tidak bisa balik (return on aquity/balik modal dari investasi) dalam 10 tahun di tengah oversupplai nasional.

Apalagi, perusahaan semen di Lingko Lolok nanti harus berjibaku bersaing dengan perusahaan-perusahaan semen nasional yang sudah menguasai pasar NTT dan Indonesia timur.

“Ini semua pertanyaan yang harus diketahui publik. Jangan sampai itu hanya kedok saja pabrik semen, tapi bisa jadi mangan,” tukas Ferdy.

Apalagi menurut dia, ke depan mangan menjadi salah satu komoditas mineral paling strategis dalam pembuatan baterai untuk program mobil listrik.

“Semen Kupang saja yang sudah dapat keringanan bayar utang ke Bank Mandiri masih sulit bersaing di pasar oligopoli semen,” ujar Ferdy.

Ia menyatakan, PT Semen Kupang (Persero) hingga kini belum bisa menjangkau pasar di negara tetangga Timor Leste dan NTT. Hal tersebut lantaran dominasi PT Semen Indonesia (Tbk) sudah sangat kuat dan menguasai 60% pasar semen di Indonesia timur.

“Semen Kupang itu pernah mati karena nggak punya modal, salah kelola dan tak mampu membaca pasar. Ini semen di Matim mau supplai ke mana? Di tengah oversupplai semen nasional,” kata Ferdy.