Menurut dia, adanya pemaksaan untuk menggunakan jasa naturalist guide PT Flobamor, sementara dalam surat KLHK No.S.312/ MENLHK/ KSDAE/ KSA.3/ 10/2022, UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Pasal 1:9, bahwa PT Flobamor tidak ada bedanya dengan badan usaha lain, tidak diperbolehkan untuk memaksa wisatawan dan tidak adanya larangan ke publik untuk mengakses kawasan Taman Nasional Komodo selama membayar karcis PNBP sesuai dengan PP 12 Tahun 2014.
“Kami merasakan adanya unsur monopoli yang sangat kuat atas dasar pemaksaan ini,” kata Budi Wijaya.
Menurutnya, kenaikan harga tiket masuk ke Pulau Padar dan Loh Liang terasa lebih aneh. Pangkalnya, biaya tiket yang dijual PT Flobamo adalah harga naturalist guide. Faktanya, kata dia, di lapangan tidak adanya naturalist guide yang menemani atau mengawal para wisatawan seperti kondisi di Pulau Komodo.
Dia mengatakan, setelah adanya pemberlakuan tarif baru para wisatawan yang telah membayar karcis sesuai PNBP yang ditetapkan PP 12 tahun 2014 yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk berwisata ke Pulau Padar tidak diperbolehkan masuk ke Pulau Padar karena menolak menggunakan jasa dan tarif naturalist guide PT Flobamora.
Budi Wijaya berharap tidak ada perusahaan yang memonopoli aset berharga milik Labuan Bajo serta memporak-porandakan cerminan wisata Labuan Bajo sebagai destinasi premium yang nyatanya membuat para investor hingga para tamu menjadi tidak tertarik untuk datang dan berinvestasi di iklim yang tidak mendukung.
“Hal ini dapat memberikan dampak buruk yang tidak baik terhadap citra pariwisata di Labuan Bajo di mata dunia,” jelas dia.
Ia menyatakan dukungannya terhadap langkah pemerintah pusat dalam melakukan penataan Kota Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo sebagai destinasi super premium dengan cara yang seksama dan bijaksana didasari pada perencanaan dan eksekusi yang baik serta terukur dengan memperhatikan kepentingan seluruh pihak terkait.