Sejumlah Asosiasi Pariwisata di Labuan Bajo mendesak pemerintah pusat untuk membatalkan kenaikan harga tiket sebesar Rp3.750.000 ke Taman Nasional Komodo (TNK) per 1 Agustus 2022. Asosiasi juga meminta Bupati Mabar, Edi Endi untuk menarik dukungannya terhadap kebijakan tersebut.

Hal itu disampaikan Asosiasi Pariwisata Labuan Bajo saat menggelar rapat dengar pendapat (RPD) dengan DPRD Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) di Labuan Bajo, Senin (4/7).

Rapat dengar pendapat dipimpin langsung oleh Wakil Ketua II DPRD Mabar, Marselinus Jeramun. Namun, agenda rapat yang sedianya mendengarkan penjelasan dari Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), pihak BTNK justru tidak hadir dalam rapat tersebut.

Menurut Asosiasi Pariwisata Labuan Bajo, pernyataan Bupati Edi Endi tidak didasari kajian dan pertimbangan matang. Imbasnya, menurut asosiasi, pernyataan tersebut akan menurunkan animo wisatawan ke Labuan Bajo.

“Meminta Bupati Manggarai Barat untuk menarik pernyataannya yang mendukung penerapan kebijakan menaikan harga tiket sebesar Rp3.750.000 ke Pulau Komodo karena alasan konsevasi, seperti yang diberitakan pada beberapa media,” kata Juru Bicara Asosiasi Pariwisata Labuan Bajo, Silvester Wanggel dalam rapat.

Baca Juga:  Kegiatan AIWW di Labuan Bajo Dinilai sebagai Bagian dari Promosi Pariwisata, Benarkah?

Silverster mengatakan, asosiasi menilai kenaikan tarif ke TNK hanya bisa dijangkau oleh pasar menengah ke atas. Tentu saja, kata dia, kebijakan ini akan berdampak pada penurunan jumlah kunjungan wisata atau pembatalan reservasi.

Adapun argumen konservasi sebagai dalih kenaikan tiket, menurut asosiasi sangat tidak masuk akal. Pangkalnya, kata Silvester, belum ada penelitian yang menunjukan bahwa peningkatan jumlah kunjungan wisatawan berdampak penurunan jumlah Komodo.

Bahkan, lanjut dia, pada 2 Maret 2022, BTNK menyatakan bahwa populasi Komodo selalu bertambah dari tahun 2018 hingga 2021.

“Zona pemanfaatan wisata Pulau Komodo pada kisaran 60 sampai 70 ekor dari 1.700-an ekor populasi Komodo pada pulau tersebut. Mayoritas komodo hidup di zona inti, bahkan maksimal belasan ekor yang biasa dijumpai bila pelaku wisata melakukan trekking di zona pemanfaatan wisata” jelasnya.

Menurut Silvester, penelitian terkait perilaku Komodo sudah dilakukan pada tahun 2018. Berdasarkan penelitian tersebut, aktivitas feeding pun dilarang. Namun, sejak 2018 hingga 2022, tidak ada penelitian terbaru terkait perilaku hewan purba tersebut.

Baca Juga:  Demokrat Tuding Ada Kekuatan Berupaya Gagalkan Koalisi Perubahan

“Artinya, hasil penelitian tahun 2018 tidak bisa menjadi argumen valid sebagai dasar kebijakan penaikan harga tiket,” katanya.

Asosiasi menduga, tambah Silverster, pemerintah memberlakukan kebijakan konservasi yang berbeda atas objek yang sama. “Komodo yang sama bisa dilihat oleh banyak orang di (Pulau) Rinca tapi Komodo di Pulau Komodo hanya bisa dilihat oleh sedikit orang” kata Wanggel yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) ini.

Adapun Asosiasi Pariwisata Labuan Bajo yang hadir dalam RPD dengan DPRD Mabar hari ini ialah Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita), Asosiasi Kapal Wisata (Askawai), Persatuan Penyelam Profesional Komodo (P3KOM), Gabungan Pengusaha Wisata Bahari dan Tirta (Gahawisri) dan PHRI.

Selain itu, Himpunan Peramuwisata Infonesia (HPI), (Asosiasi Travel Agen Infonesia (Astindo), Asosiasi Angkutan Wisata Darat Labuan Bajo, Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp), Insan Pariwisata Indosesia (IPI), Dive Operator Comunity Komodo, Jaringan Kapal Rekreasi, Asosiasi Kelompok Usaha Unitas dan Barisan Pengusaha Pariwisata Labuan Bajo.