Aktivis Judilherry Justam mengatakan kritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Menurutnya, pendukung Jokowi tidak perlu reaktif terhadap kritik tersebut.

“Saya menilai kritikan BEM UI ini sebagai hal wajar-wajar saja. Bagian dari kebebasan menyatakan pendapat. Tidak perlu lah disikapi secara reaktif,” kata Judilherry dalam webinar Narasi Institute bertajuk `Gerakan Mahasiswa dan Pengkhianatan Kaum Intelektual`, Jumat (2/7).

Judilherry merupakan aktivis mahasiswa di era Orde Baru. Selain itu, dia juga merupakan pimpinan sebuah relawan yang mendukung Presiden Jokowi di Pilpres 2019. Meski demikian, dia mengaku bukanlah kelompok relawan yang tidak kritis terhadap pemerintahan Jokowi.

“Yang baik kita katakan baik, yang tidak baik tentu kita kritisi. saya tidak menganut prinsip, `The King Do No Wrong`,” ujarnya.

Judilherry kemudian membandingkan situasi kritik BEM UI era Orba dengan era Jokowi. Saat BEM UI memimpin demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada 1974, berbagai poster dibawa serta untuk mengkritik Soeharto. Di antaranya bertuliskan, “Presiden saudaranya Liem Sioe Liong” (atau Sudono Salim, kroni Soeharto waktu itu), “Presiden kerjanya main golf”, dan Ibu Tien Soeharto ten percent” (terima komisi 10% dari proyek pemerintah).

Kendati pemerintahan Soeharto yang represif dan otoriter, menurut Judilherry, tak satupun rektor universitas yang memanggil mahasiswa untuk mengklarifikasi. Hal ini menurutnya berbeda dengan Rektorat UI yang memanggil BEM UI seminggu setelah BEM UI memposting kritik Presiden Jokowi sebagai `The King Lip of Service` di laman Instagram.