Hal itu berpotensi adanya pembatasan dan penyensoran. Menurutnya, pengawasan KPI bersandar pada Pedoman Perilaku dan Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).

Nenden mengatakan ruang digital sebagai wadah ekspresi masyarakat secara umum memang untuk mendapatkan sumber ekonomi, jejaring serta aktualisasi diri akan sangat dibatasi dari kewenangan KPI yang semakin luas ini.

“(Akan) makin lengkap pengawasan ditambah dengan aturan PPP SPS bisa dibilang rancu dan sangat mungkin digunakan atau kewenangan KPI dengan RUU Penyiaran akan digunakan sebagai alat justifikasi untuk melakukan sensor terhadap konten dunia digital,” tutur Nenden.

KPI Akan Cawe-cawe

Belid ini juga dianggap membuat KPI ‘cawe-cawe’ dari wewenangnya selama ini. Bila selama ini, KPI hanya mengurusi radio dan televisi yang menggunakan frekuensi publik dan sekarang akan merambah pengawasan ke ranah digital.

“Cawe-cawe mau diurusin, makin banyak orang yang mengawasi dan mengatur dan melimitasi aktivitas pengguna di media sosial. Makin lama, makin sempit masyarakat ruang untuk berekspresi,” kata Nenden.

Ia meminta DPR kembali melihat secara keseluruhan isi RUU Penyiaran itu. DPR perlu melihat apakah sudah pas KPI diberi wewenang sebegitu besarnya sampai harus mengurusi ruang digital. Selain itu, apakah KPI sudah menjalankan fungsinya dengan baik dalam pengawasan selama ini.

“Kan, Kominfo juga ngurusin pengawasan konten. Apakah perlu dipertimbangkan misalnya ngelihat dari regulasi yang sudah ada supaya enggak tumpang tindih. Bukan malah numpuk-numpuk malah bingung sendiri,” tutur Nenden Sekar.

Perlu Ada Batasan

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin mengatakan belid itu untuk mencegah konten yang memecah belah bangsa dan negara. Menurutnya, demokrasi wajib menjaga persatuan dan kesatuan.

“Itu ada batasannya, kita berdemokrasi, tapi juga wajib menjaga seperti yang ditentukan antara lain, menjaga persatuan dan kesatuan,” kata Hasanuddin, Jumat.

Ia mengatakan semua pegiat digital bebas membuat konten. Namun, konten yang berbau pornografi, menghina agama, dan teroris harus dilarang. Ia mengatakan tidak boleh berlindung atas nama kebebasan.

“Kebebasan itu ada batasnya, demi kepentingan umum,” tutur Hasanuddin.