Jakarta – 16 Mei 1945 merupakan hari bersejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Pada hari ini, 79 tahun yang lalu, Jepang melakukan eksekusi mati terhadap enam orang tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang terlibat dalam pemberontakan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945.

Pemberontakan ini dilatarbelakangi oleh rasa kekecewaan terhadap penindasan brutal Jepang terhadap rakyat Indonesia. Terutama program romusha yang dianggap tidak manusiawi dan telah merenggut banyak nyawa rakyat Indonesia karena kelelahan, kelaparan, dan penyakit.

Pemberontakan yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi ini dimulai dengan serangan terhadap kediaman perwira Jepang dan markas polisi militer Jepang di Blitar.

Namun, pemberontakan ini gagal karena Supriyadi tidak berhasil menggerakkan kesatuan lain untuk bergabung dan Jepang sudah mengetahui rencana pemberontakan.

Akibatnya, 68 prajurit PETA yang terlibat ditangkap dan diadili di Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Enam orang di antaranya, yaitu dr. Ismail, Muradi, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo, dihukum mati.

Nasib Supriyadi sendiri masih menjadi misteri hingga saat ini. Ada yang menyebut bahwa dia gugur dalam pertempuran, sementara yang lain mengatakan dia berhasil melarikan diri.

Meskipun Soekarno pernah mengumumkan Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat, dia tidak pernah muncul dan digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo.

Peristiwa eksekusi mati enam tentara PETA ini menjadi pengingat akan kekejaman penjajahan Jepang dan semangat juang para pahlawan bangsa yang rela mengorbankan nyawa untuk kemerdekaan Indonesia.

Berikut beberapa poin penting yang dapat diingat dari peristiwa ini: