Jakarta – Di Amerika, setiap hari Jumat keempat di bulan November selalu dirayakan sebagai Black Friday. Setiap kali memasuki Black Friday, momentum ini selalu diantisipasi oleh banyak orang sebagai kesempatan untuk mendapatkan diskon besar-besaran dari berbagai barang berkualitas.
Toko-toko besar dan merek-merek ternama kerap menggelar diskon yang sangat menggiurkan, sehingga momen ini menjadi favorit bagi para pencari barang-barang impian.
Di Amerika, antusiasme terhadap Black Friday terlihat dari antrean yang mulai terbentuk sejak dini hari. Namun, sebenarnya apa yang dimaksud dengan Black Friday?
Mengutip history.com, sumber sejarah menunjukkan bahwa istilah “Black Friday” awalnya bukanlah tentang belanja pasca liburan Thanksgiving, melainkan terkait dengan kekacauan finansial pada 24 September 1869 di AS.
Jay Gould dan Jim Fisk, dua pemodal Wall Street yang terkenal kejam, bersama-sama merencanakan pembelian besar-besaran emas nasional untuk mendorong harga tinggi dan mengambil keuntungan besar.
Namun, rencana ini terbongkar pada hari Jumat bulan September, menyebabkan kerugian besar di pasar saham, mengakibatkan kebangkrutan bagi banyak kalangan, dari pebisnis Wall Street hingga petani.
Meskipun tradisi Black Friday ini sering dihubungkan dengan belanja pasca Thanksgiving, kisah resmi yang beredar menyatakan bahwa toko-toko, setelah “merugi” sepanjang tahun, akan “mendapatkan keuntungan” pada hari setelah Thanksgiving, karena para pembeli liburan berbelanja dengan diskon besar.