Pada tahun 1985 hingga 1999, Ba’asyir dan Abdullah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat muslim berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist di Malaysia dan Singapura. Kariernya pun melejit di luar negeri.

Saat diinterogasi mengenai kegiatan keagamaan yang sering dilakukannya, Ba’asyir membantah laporan dari CIA mengenai usaha pembentukan Islam Radikal di Malaysia.

Kendati demikian, pemerintah Amerika Serikat tetap memasukan nama Ba’asyir sebagai seorang teroris karena keterlibatan jamaahnya dengan jaringan Al-Qaeda.

Saat usianya 61 tahun, Ba’asyir kembali ke tanah air. Ia pun bergabung dengan organisasi Majelis Mujahidin Indonesia dan ditunjuk sebagai ketua pada tahun 2002. Perkumpulan tersebut memiliki misi untuk menegakan syariat Islam di Indonesia.

Setelah terjadi peristiwa pengeboman di Bali, Ba’asyir digadang-gadang sebagai otak dari peristiwa naas tersebut. Kejadian terorisme ini bahkan telah menyita perhatian masyarakat internasional pasalnya pengeboman ini telah menewaskan warga negara asing yang tengah berlibur di Bali.

Sepak terjang Ba’asyir bahkan hingga masuk majalah TIME. Dalam majalah tersebut disebutkan bahwa Ba’asyir menjalin jaringan dengan terorisme internasional. Hal ini juga didasari dari pengakuan Umar Al-Faruq, seorang warga negara Yaman yang ditangkap di Bogor.

Ba’asyir tetap membantah isi artikel TIME tersebut. Dirinya bahkan meminta pemerintahan Indonesia membawa Umar Al-Faruq yang telah digiring ke Afganistan kembali ke Indonesia untuk pemeriksaan lanjutan.

Ba’asyir juga bersikukuh bahwa peristiwa pengeboman di Bali itu bukanlah ulahnya melainkan ulah Amerika Serikat yang ingin menunjukan bahwa Indonesia sarang teroris.

Proses hukum Abu Bakar Ba’asyir berlangsung dengan penuh polemik. Hingga ditetapkan sebagai tersangka, ia tetap tidak datang memenuhi panggilan polisi. Lalu pada 3 Maret 2005, Ba’asyir divonis hukuman 2.6 tahun penjara dan bebas pada 14 Juni 2006.

Namun, pada tahun 2010 Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaida di Aceh.

Pada 16 Juni 2011, Ba’asyir ditetapkan hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.

Pada 2018, ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang saat itu berusia 80 tahun mengalami penurunan kesehatan. Kedua kakinya mengalami pembengkakan dan menghitam. Ia telah menjalani pemeriksaan intensif di RSCM. Menurut Guntur, pengacaranya, Ba’asyir mengidap kista di kaki kanannya.

Isu pemindahan lapas tahanan dan grasi pun mencuat. Namun, tim pengacara menjelaskan bahwa Ba’asyir menolak grasi karena hingga saat ini ia tidak mernah merasa bersalah. Sedangkan, syarat utama permohonan grasi adalah dengan mengakui kesalahannya.