Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi memiliki konflik kepentingan dalam memutus perkara gugatan terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjelang Pemilu 2024.
“Permohonan uji materi tersebut secara tidak langsung menempatkan hakim MK pada posisi konflik kepentingan,” kata Petrus dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (11/10).
Petrus menjelaskan, selama ini permohonan perubahan batas usia pejabat publik dilakukan melalui proses dan mekanisme legislasi antara DPR dan Pemerintah karena menyangkut kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
Petrus mencontohkan produk hukum, khususnya terkait batas usia jabatan publik, yang pernah digodok lewat legislasi di DPR ialah Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, di mana saat itu mengubah batas usia minimum capres dan cawapres dari 35 tahun menjadi 40 tahun.
Selanjutnya, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, batas usia minimum capres dan cawapres diputuskan tetap pada 40 tahun.
Begitu pula perubahan batas usia minimum dan maksimum hakim MK. Pada UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, usia hakim ditetapkan minimum 40 tahun dan pensiun pada usia 67 tahun.
Kemudian, batas minimum usia hakim MK itu diubah melalui open legal policy DPR menjadi 47 tahun dan pensiun di usia 65 tahun.
“Segala perubahannya dilakukan dengan cara mengubah UU melalui proses legislasi di DPR dan Pemerintah, karena menyangkut apa yang disebut open legal policy yang menjadi domain DPR dan Pemerintah, bukan domain MK lewat uji materi UU,” tegasnya.