Menurut dia, pada perubahan UU MK dan UU Pemilu tersebut, MK tetap konsisten tunduk pada pendirian bahwa perubahan batas usia minimum dan/atau maksimum jabatan publik merupakan kebijakan open legal policy yang masuk dalam domain atau kewenangan DPR dan Pemerintah melalui proses legislasi.

Petrus menyarankan hakim MK harus mengundurkan diri dari proses uji materi itu. Terlebih, jika proses uji materi tersebut berpotensi “menggoda” hakim MK untuk juga mengubah batas usia hakim itu sendiri.

“Tidak tertutup kemungkinan hakim-hakim MK pun akan sangat bernafsu mengubah usia minimum calon hakim MK dan sekaligus memperpanjang batas usia pensiun hakim MK melalui uji materi untuk kepentingan dirinya atau kroninya kelak,” kata Petrus.

Selain itu, lanjutnya, konflik kepentingan dari uji materi batas usia capres-cawapres itu juga berpotensi sarat kepentingan mengingat Ketua MK Anwar Usman memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Joko Widodo sebagai ipar.

Terlebih lagi, salah satu tokoh yang saat ini akan diusung menjadi cawapres untuk Pemilu 2024 dan terkendala syarat batas usia ialah Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang juga putra sulung Jokowi.

“Oleh karena itu, jika MK mengubah batas usia minimum menjadi 35 tahun, atau tetap 40 tahun tetapi pernah menjabat sebagai kepala daerah, maka MK bukan lagi berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan hakim-hakim MK bukan lagi negarawan; tetapi mereka menjadi kepanjangan tangan kepentingan dinasti oligarki,” ujar Petrus.