Dhani Iqbal menyoroti fakta bahwa dalam Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan tahun 1954, Yamin justru telah menegaskan bahwa bahasa Indonesia telah digunakan sejak zaman purba.

Sejarawan Anhar Gonggong menjelaskan bahwa Soegondo, yang menjadi pembaca naskah dalam Kongres II, terkejut ketika Yamin mengusulkan perubahan. Dalam secarik kertas yang ditulis tangan, Yamin menekankan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

“Ya Soegondo kaget karena pada pertemuan sebelumnya Yamin tidak mau bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tetapi bahasa Melayu,” jelas Anhar.

Dhani Iqbal melihat bahwa frasa ‘bahasa yang satu yakni bahasa Indonesia’ memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar perubahan bahasa. Selain melupakan Bahasa Melayu sebagai lingua franca, ada upaya untuk menguasai atau mengendalikan satu kelompok oleh yang lain.

Konsekuensinya adalah adanya penekanan pada “keharusan” atau “kewajiban” untuk berbahasa Indonesia dalam semua aspek. Hal ini, menurut Dhani, mengarah pada pergeseran makna tentang pentingnya bahasa daerah dan kemungkinan tergerusnya budaya nasional masing-masing etnis.

 

Catatan Redaksi

Artikel ini telah disunting ulang, bersumber dari peliputan Marcel Gual saat di Merdeka.com.