Tajukflores.com – 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda, sebuah momen bersejarah yang diyakini menjadi tonggak pergerakan bangsa Indonesia dalam merealisasikan cita-cita kemerdekaan.

Ide besar yang diwariskan oleh pemuda-pemuda dari berbagai daerah menjadi warisan sejarah yang tak boleh dilupakan. Konsep “satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa” menjadi dasar dalam menjaga persatuan dan kesatuan.

Namun, pandangan berbeda muncul dalam konteks peristiwa Sumpah Pemuda. Menurut seorang periset budaya Melayu, TM. Dhani Iqbal, ada elemen ‘pemaksaan’ yang terkait dengan peristiwa ini.

Sastrawan Mohamad Yamin, kata Iqbal, diduga memiliki peran signifikan dalam menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pandangan ini, baginya, melupakan peranan penting Bahasa Melayu sebagai lingua franca, yang secara jelas merupakan ibu dari bangsa ini.

“Dia (Moh. Yamin) mengubahnya, bahkan sampai hari ini ada lagunya itu untuk menguasai kaum satu dengan yang lainnya. Tidak ada berbahasa satu, yang ada bahasa persatuan,” kata Dhani beberapa waktu lalu.

Dhani Iqbal mengungkapkan, sebelum digelarnya Kongres II, Mohamad Yamin memunculkan gagasan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Usul ini pertama kali disampaikan dalam Kongres I pada awal Mei 1926.

Namun, ketua kongres saat itu, Mohammad Tabrani Soerjowitjitro dari Madura, menolak usulan Yamin tentang penggunaan bahasa Melayu.

Tabrani berpendapat bahwa bahasa persatuan seharusnya tidak lagi diberi nama bahasa daerah, melainkan dinamakan bahasa Indonesia. Tetapi Yamin menegaskan bahwa tidak ada bahasa Indonesia, hanya ada bahasa Melayu.

Hasil Kongres I adalah sebuah kebuntuan dalam perdebatan ini. Baru dalam Kongres II, diputuskan bahwa bahasa yang akan digunakan sebagai bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu.

Dhani Iqbal menyoroti fakta bahwa dalam Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan tahun 1954, Yamin justru telah menegaskan bahwa bahasa Indonesia telah digunakan sejak zaman purba.

Sejarawan Anhar Gonggong menjelaskan bahwa Soegondo, yang menjadi pembaca naskah dalam Kongres II, terkejut ketika Yamin mengusulkan perubahan. Dalam secarik kertas yang ditulis tangan, Yamin menekankan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

“Ya Soegondo kaget karena pada pertemuan sebelumnya Yamin tidak mau bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tetapi bahasa Melayu,” jelas Anhar.

Dhani Iqbal melihat bahwa frasa ‘bahasa yang satu yakni bahasa Indonesia’ memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar perubahan bahasa. Selain melupakan Bahasa Melayu sebagai lingua franca, ada upaya untuk menguasai atau mengendalikan satu kelompok oleh yang lain.

Konsekuensinya adalah adanya penekanan pada “keharusan” atau “kewajiban” untuk berbahasa Indonesia dalam semua aspek. Hal ini, menurut Dhani, mengarah pada pergeseran makna tentang pentingnya bahasa daerah dan kemungkinan tergerusnya budaya nasional masing-masing etnis.

 

Catatan Redaksi

Artikel ini telah disunting ulang, bersumber dari peliputan Marcel Gual saat di Merdeka.com.