Sejumlah tokoh muda asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Jakarta mendesak polisi untuk segera memeriksa konten kreator TikTok, Richard Theodore terkait video viral yang menuding Asman, seorang penjaga warung di NTT tidak jujur.

Desakan tersebut disampaikan advokat dan hakim mediator Ardy Mbalembout, advokat Fransiska Xaveria Wahon dan akademisi Maksimus Ramses Lalongkoe dalam konferensi di kantor Law Firm Mbalembout & Associates, MTH Residence, Otista, Jakarta Timur.

Menurut Fransiska Xaveria Wahon, konten Richard Theodore mendeskreditkan masyarakat NTT, bahkan menimbulkan kerugian materil bagi Asman secara pribadi.

Pasalnya, kata dia, dengan viralnya video tersebut bisa saja mengakibatkan kehilangan pelanggan. Menurutnya, video tersebut dapat memengaruhi pikiran masyarakat luas sehingga tidak mau berbelanja di tempat tersebut.

“Padahal bapak tersebut sudah sangat baik dan jujur telah menyimpan handphone tersebut, meski Richard Theodore hanya sebatas social experiment,” ujar Fransiska dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (17/6).

Untuk itu, lanjut Fransiska, meskipun Richard Theodore telah menyampaikan permohonan maaf melalui media sosialnya usai dirujak Marion Jola dan Arie Kriting, namun kontennya telah memengaruhi publik luas seolah-olah orang NTT tidak jujur.

“Sekalipun dia sudah minta maaf tetap saja dia sudah mencederai perasaan masyarakat NTT, sehingga dia harus diproses hukum agar ada efek jeranya, apalagi video tersebut dijadikan konten yang bisa mendapatkan keuntungan secara finansial,” tegas Fransiska.

Sementara itu, Ardy Mbalembout mengatakan, secara hukum penyampaian konten Tiktok Richard Theodore patut diduga telah melanggar Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) Tahun 2006, dengan ancaman hukuman 4 tahun dan atau denda 750 juta rupiah dan juga melanggar Pasal 28 ayat 2 tentang menghasut untuk membenci terhadap suatu etnis tertentu, serta diduga melanggar Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang diskriminasi terhadap Ras.

Advokat ibu kota ini menegaskan, perbuatan Richard Theodore tersebut terkait dengan pasal-pasal dalam UU ITE dan KUHP merupakan delik umum umum sehingga penyidik tidak perlu ada pengaduan formil dari masyarakat.

“Tetapi harus secara pro aktif menyidik dengan cara memanggil yang bersangkutan agar dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya” ujar alumni PPRA 64 Lemhanas RI ini.

Di sisi lain, Maksimus Ramses Lalongkoe mengatakan, penyampaian permohonan maaf Richard Theodore tidak dapat seketika mengembalikan pikiran masyarakat luas sebelumnya yang meyakini bahwa ada masyarakat NTT tidak jujur. Sebab, konten tersebut telah viral dan menyebar ke mana-mana.

“Kalau yang nonton konten itu ada jutaan manusia belum tentu saat minta maaf juga yang nonton jutaan bisa saja hanya segelintir orang maka Sebagian besar orang masih memercayai itu,” kata Ramses.

Selain itu, tambah Ramses, beberapa ucapan Richard Theodore merendahkan harkat dan martabat masyarakat NTT, dan tidak mencerminkan sebagai seorang konten kreator terdidik.