Namun, langkah kaki menuju cita-cita wisata halal yang inklusif tak lepas dari rintangan intoleransi. Kasus-kasus seperti penutupan restoran non-halal, pembatasan volume toa masjid, hingga pelarangan tarian tradisional karena dianggap vulgar, menjadi alarm yang berdenyut kencang.

Ketakutan diskriminasi bukan isapan jempol. Di negeri multikultur seperti Indonesia, penerapan wisata halal tanpa dibarengi dengan edukasi toleransi, berisiko memperlebar jurang pemisahan.

Bayangkan Danau Toba terbelah dua, sisi kiri untuk pria, kanan untuk wanita? Atau Rinjani berubah menjadi wisata “gender split”, mengkerdilkan keindahan alam dengan sekat-sekat kesalahpahaman.

Wisata halal harus dibingkai dalam bingkai Pancasila. Indonesia berdiri kokoh di atas lima pilar, menjunjung tinggi toleransi dan keberagaman.

Konsep wisata halal perlu disusun dengan cermat, memastikan kenyamanan bagi wisatawan Muslim tanpa mengorbankan hak-hak dan kebebasan minoritas.

Menyediakan restoran halal dan minimarket bebas alkohol bukanlah sebuah paksaan, melainkan pilihan. Begitu pula dengan aturan berpakaian dan pemisahan area. Yang patut ditekankan adalah unsur edukasi dan sosialisasi, bukan instrumen pemaksaan dan pembatasan.

Wisata halal bisa menjadi peluang emas bagi Indonesia, tak hanya dari segi ekonomi tapi juga sebagai simbol kerukunan dan persatuan. Jalannya masih panjang, dan tantangannya nyata. Mari bergandengan tangan, Muslim dan non-Muslim, membangun konsep wisata halal yang ramah, inklusif, dan tak lekang oleh intoleransi.

Indonesia bisa menjadi pelopor wisata halal yang mendunia, bukan dengan meminggirkan atau meniadakan keberagaman, melainkan dengan merangkul dan merayakan perbedaan.

Saat harmoni antara potensi ekonomi dan toleransi berpadu, barulah keindahan sejati wisata halal Indonesia tersingkap.