Jakarta – Penggunaan ponsel telah lama menjadi topik perdebatan terkait potensi dampaknya terhadap kesehatan, khususnya mengenai risiko kanker otak.

Sebuah tinjauan ilmiah terbaru yang diprakarsai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan penjelasan terkini tentang isu ini.

Menurut laporan yang dipublikasikan oleh South China Morning Post pada Rabu (4/9), tinjauan tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan hubungan antara penggunaan ponsel dan peningkatan risiko kanker otak.

Penelitian ini melibatkan analisis terhadap 63 studi yang dilakukan sejak tahun 1994 hingga 2024. Tim peneliti yang terlibat dalam studi ini terdiri dari 11 ahli dari 10 negara, termasuk otoritas proteksi radiasi pemerintah Australia.

Baca Juga:  Daftar 23 Pemain Timnas Indonesia U-23 di Piala Asia U-23 2024, Nathan Tjoe-A-On Dicoret

Mark Elwood, profesor epidemiologi kanker di Universitas Auckland, Selandia Baru, yang turut serta dalam penelitian ini, mengungkapkan bahwa tidak ada pertanyaan utama dalam studi yang menunjukkan adanya peningkatan risiko kanker otak terkait penggunaan ponsel.

Kajian ini juga mencakup analisis tentang berbagai jenis kanker, termasuk kanker kelenjar hipofisis, kelenjar ludah, dan leukemia.

Meskipun hasil kajian terbaru ini menunjukkan bahwa penggunaan ponsel tidak meningkatkan risiko kanker otak, WHO dan badan kesehatan internasional lainnya sebelumnya telah menyatakan bahwa bukti mengenai efek kesehatan dari radiasi ponsel masih belum cukup kuat, sehingga mereka menyerukan penelitian lebih lanjut.

Baca Juga:  Rekrutmen CPNS PPPK 2024 Dibuka Mei, Ini Rincian Formasi dan Jadwalnya

Saat ini, hubungan antara ponsel dan kanker otak diklasifikasikan sebagai “mungkin karsinogenik” atau kategori 2B oleh Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC), yang berarti bahwa ada kemungkinan hubungan, tetapi bukti belum cukup untuk mengkonfirmasi secara definitif.

Klasifikasi ini terus dipantau, dan kelompok penasihat IARC telah meminta evaluasi kembali klasifikasi ini berdasarkan data baru.

Evaluasi lebih lanjut oleh WHO diharapkan akan dirilis pada kuartal pertama tahun depan.