Tajukflores.comTarian caci merupakan salah satu warisan budaya yang unik dari Flores, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini bukan hanya sekadar pertunjukan seni, namun juga mengandung makna yang mendalam dalam budaya dan tradisi masyarakat setempat.

Secara harfiah, “caci” berasal dari kata “ca” yang berarti satu dan “ci” yang berarti uji ketangkasan, satu lawan satu. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa “caci” berasal dari nyanyian para penari yang meneriakkan bunyi “ca ci ca ci ca ci” saat pementasan.

Caci bisanya digelar sebagai syukuran atas musim panen (ako woja) dan upacara tahun baru adat (penti), upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.

Tarian caci dimainkan dua orang laki-laki, satu lawan satu, dengan memukul dilakukan secara bergantian diiringi irama musik gong dan gendang. Alat yang digunakan adalah cambuk atau pecut (larik), perisai (nggiling), penangkis (koret), dan panggal (penutup kepala).

Musik yang mengiringi tarian ini biasanya bersumber dari gong dan gendang, dengan irama yang penuh semangat untuk memacu adrenalin para penari.

Pertarungan dilakukan dengan cara menyabetkan pecut kepada lawan sambil menahan pecutan dan bernyanyi, sebagai bentuk provokasi terhadap lawan.

Sikap Ksatria

Tarian caci bukan hanya sekadar pertunjukan seni, melainkan juga memiliki nilai-nilai budaya dan tradisi Manggarai yang dalam. Dahulu, tarian ini digunakan untuk mencari pembuktian siapa yang benar dan siapa yang salah dalam suatu perkara.

Namun, seiring perkembangan waktu, tarian ini lebih banyak dipentaskan dalam acara-acara profan seperti pesta rakyat pergantian tahun atau pembukaan lahan garapan.

Untuk menarikan tarian caci, diperlukan syarat-syarat khusus seperti kemampuan menangkis dan memukul lawan, mampu menari dan bernyanyi lagu-lagu daerah, serta memiliki badan yang atletis.

Tarian Caci bukan hanya sekadar bentuk seni belaka, namun juga merupakan salah satu bentuk olahraga tradisional Suku Manggarai yang membentuk orang-orang yang berjiwa ksatria dan mampu mengendalikan emosi.

Wanita juga memiliki peran penting dalam tarian caci. Mereka turut ambil bagian sebagai penonton yang membuat lingkaran di dalam arena yang disebut danding, serta sebagai penyanyi dan penari pembuka dalam tarian ini.

Wanita juga bertugas sebagai penabuh gong dan gendang untuk mengiringi pemain caci dalam pertunjukan. Hal ini menunjukkan bahwa tarian caci tidak hanya menjadi bagian dari budaya dan tradisi laki-laki, namun juga melibatkan peran aktif wanita dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya ini.

Menurut Yasintus Jaar, tokoh Manggarai di Jakarta, caci bukan sekedar tarian untuk menunjukkan sikap ksatria, tapi juga memperlihatkan bagaimana laki-laki harus `tunduk` sebelum mampu memikat hati seorang gadis.

“Karena dia harus perlihatkan dulu apakah dia bertanggungjawab atau tidak,” kata Yasintus Jaar, tokoh Manggarai di Jakarta kepada Tajukflores.com dalam sebuah kesempatan.

Yasintus mengatakan, terkadang seorang wanita jatuh hati karena ketangkasan dan keluwesan penari caci, tapi dia selalu punya hak untuk memutuskan apakah ia menerima atau tidak laki-laki tersebut. Sebab, kata Yasintus, laki-laki yang lebih disukai seorang gadis adalah ia yang kelak menjadi tulang punggung keluarga dan mampu menjaganya hingga akhir hayat.

“Biasanya penari yang jago lomes (pandai nyanyi dan memainkan pantun) dan tangkas bisa meluluhkan hati seorang gadis,” ucapnya.