Jakarta – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh dua prajurit TNI AL terhadap jurnalis media online sidikkasus.co.id, Sukandi Ali di Halmahera Selatan.

Peristiwa ini terjadi pada Kamis, 28 Maret 2024, di Pos TNI AL Panamboang, Kecamatan Bacan Selatan, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.

Berdasarkan informasi yang diterima KontraS, penyiksaan tersebut dipicu oleh pemberitaan tentang diamankannya satu kapal tanker bermuatan puluhan ribu KL bahan bakar minyak yang diduga milik Ditpolairud Polda Maluku Utara.

Bahan bakar minyak tersebut diduga akan diperjualbelikan, seperti yang dilaporkan oleh media Sidikkasus.co.id pada 26 Maret 2024.

Para pelaku, yang berinisial Letda M dan Peltu R, tidak terima dengan pemberitaan tersebut dan mencoba mendatangi Sukandi Ali untuk mengonfirmasi isi berita tersebut. Korban dijemput di rumahnya dan dibawa ke Pos TNI AL di Panamboang oleh seorang Babinsa.

“Di sini korban diinterogasi dan mengalami berbagai bentuk dugaan tindak penyiksaan,” kata Dimas Bagus Arya, Koordinator Badan Pekerja KontraS dalam keterangan pers, dikutip Tajukflores.com, Sabtu (30/3)

Menurut kesaksian korban, ia mengalami penyiksaan berupa pukulan, tendangan, cambukan menggunakan selang, dan ancaman menggunakan pistol. Bahkan, para pelaku sempat melepaskan tembakan peringatan untuk mengintimidasi korban.

Korban mengalami luka-luka di punggung, bahu, dan kepala akibat penyiksaan tersebut, termasuk gigi yang patah. Sukandi Ali telah melaporkan peristiwa ini ke Polres Halmahera Selatan.

Tindakan penyiksaan tersebut tidak manusiawi dan melanggar UU 5/1998, UU 39/1999, UU 12/2005, KUHP, dan Peraturan Panglima TNI No. 73/IX/2010.

“Dalam kasus yang menimpa Sukandi Ali, kami menilai tindakan yang dilakukan oleh kedua prajurit TNI AL tersebut merupakan bentuk ancaman nyata terhadap penghalangan kerja-kerja jurnalistik yang sangat membahayakan kebebasan pers di Indonesia,” ungkap Dimas.

“Diabaikannya mekanisme akuntabilitas hukum dan tiadanya perhatian dalam memberikan jaminan pemulihan kepada korban menjadikan kasus-kasus kekerasan terus terjadi,” lanjutnya.

Selain itu, KontraS menekankan bahwa jurnalis memiliki hak kebebasan dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan/atau penekanan agar masyarakat mendapatkan informasi yang terjamin, serta perlindungan hukum berdasarkan UU 40/1999 tentang Pers.

Kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan aparat negara bukan kali ini saja terjadi. KontraS juga mengingatkan kasus pembunuhan terhadap jurnalis Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin pada 13 Agustus 1996, dan kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi pada 27 Maret 2021.

Atas kasus yang menimpa Sukandi Ali, KontraS mendesak:

Pertama, Panglima TNI beserta jajarannya untuk mengambil langkah serius dalam mengawasi dan mencegah tindakan kekerasan serta penyiksaan, serta melakukan tindakan tegas bagi anggota yang melanggar hukum.

Kedua, Kapolda Maluku Utara untuk memproses laporan yang telah diajukan oleh korban secara independen dan akuntabel, serta memberikan akses informasi kepada korban dan keluarganya.

Ketiga, Komnas HAM untuk melakukan investigasi lebih lanjut atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dan memantau proses hukum yang sedang berlangsung.

Keempat, LPSK untuk memberikan jaminan perlindungan dan keamanan kepada korban dan keluarganya.

KontraS menegaskan pentingnya perlindungan terhadap kebebasan pers dan mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.