Jakarta – Peneliti Bidang Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengungkapkan keheranannya atas sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada Ketua KPU Kabupaten Manggarai Barat, Krispianus Bheda Somerpes.
Pasalnya, meski Krispianus dijatuhi sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan ketua karena terbukti melakukan kekerasan seksual kepada pengadu Christiana Gaurau selaku staf Sekretariat KPU Manggarai Barat, yang bersangkutan hanya dicopot dari jabatan sebagai Ketua KPU Manggarai Barat.
Lucius menilai aneh sanksi yang diberikan DKPP terhadap terduga pelaku kekerasan seksual. Peneliti senior Formappi itu secara pribadi kecewa atas putusan DKPP terhadap Ketua KPU Manggarai Barat tersebut.
Ia mengatakan, seharusnya DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada terduga pelaku kekerasan seksual itu.
“Bagaimana bisa DKPP mengganjar pelaku kekerasan seksual hanya dengan menurunkan posisinya dari ketua ke anggota?” kata Lucius ketika dihubungi, Rabu (29/5).
Ia lantas mempertanyakan pendidikan moral apa yang ingin ditunjukkan DKPP yang hanya menjatuhkan sanksi pencopotan terhadap Krispianus.
Menurut Lucius, kekerasan seksual merupakan aksi kriminal yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, elas dia, dibuatkan UU-nya sendiri.
“Bagaimana DKPP membayangkan pelaku masih berkantor dengan korban yang tetap saja dalam posisinya yang lemah? Sungguh aneh keputusan DKPP ini,” ucap Lucius.
Putusan Ala DKPP Buka Keran Pelaku Lain
Lucius mengatakan putusan DKPP itu akan memicu semangat mereka yang punya kecenderungan berperilaku serupa makin terpacu. Sebab, merasa aksi kekerasan seksual sesuatu yang ringan dan tak membahayakan posisi jabatan mereka.
“Ya paling digeser saja sanksinya. Dari ketua ke anggota,” tutur Lucius.
Di sisi lain, Lucius menilai kondisi penyelenggara seperti ini menjadi mudah bagi politisi yang berkontestasi di pemilu dan pilkada untuk bermain mata dengan penyelenggara. Pasalnya, ada celah untuk menekan penyelenggara dengan kasus mereka.
Keputusan DKPP itu akhirnya menggerogoti kekuatan lembaga penyelenggara. Peserta pemilu akan menganggap remeh penyelenggara. Alhasil, penyelenggara yang tak berwibawa mudah untuk disetir, dan keberlangsungan pemilu yang jurdil terancam hancur.
Lucius juga mempertanyakan tim seleksi KPUD Mabar yang meloloskan Krispianus sebagai Ketua KPUD. Padahal, kata dia, bermasalah secara moral.
“Sanksi yang tepat harus memecat dengan tidak hormat Ketua KPUD dari keberadaannya sebagai penyelenggara,” tutup Lucius.
Krispianus Bantah Lakukan Kekerasan Seksual
Krispianus mengklaim tak melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Ia mengaku bantahan itu juga telah disampaikan secara langsung dalam persidangan. Krispianus mengaku hadir secara daring dalam sidang putusan tersebut,
“Saya tetap berpendapat yang sama sebagaimana jawaban saya dalam sidang, bahwa semuanya tidak benar. Mengada-ada. Karena pada faktanya saya tidak melakukannya, karenanya dalam sidang tidak dapat dibuktikan,” kata Krispianus saat dihubungi, Selasa (28/5) malam.
Krispianus menganggap keputusan DKPP memecat dirinya karena mempertimbangkan persoalan etika. Ia mengatakan pertimbangan-pertimbangan hukum DKPP boleh tidak sebatas fakta, tetapi juga memperhatikan dampak moral dan sosial.
Dihubungi secara terpisah, salah satu kuasa hukum korban, Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho dari LBH Apik masih irit bicara ihwal bantahan Krispianus. Ia hanya mengatakan pimpinan mereka yang memiliki otoritas untuk menanggapi sanggahan Krispianus.
“Yang akan merespons direktur kami,” kata Joan kepada Tirto, Selasa malam.
Joan juga mengatakan saat ini korban belum bisa bersedia diwawancara karena kondisi psikisnya belum stabil setelah putusan DKPP.
“Untuk korban, beliau belum bersedia diwawancarai. Karena psikis masih belum stabil setelah putusan ini,” tutur Joan.
Putusan pencopotan Krispianus dari jabatannya sebagai Ketua KPU Mabar dibacakan langsung oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan ketua kepada teradu Krispianus Bheda selaku ketua merangkap anggota KPU Manggarai Barat terhitung sejak putusan ini dibacakan,” kata Heddy dalam sidang putusan di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Selasa (28/5/2024).
Anggota DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengungkapkan kronologi kekerasan seksual yang dilakukan oleh Krispianus. Hal itu bermula pada 2019 saat Krispianus menghampiri indekos Christiana Gaurau selaku pengadu.
“Pengadu mendalilkan bahwa teradu yang tahu kondisi pengadu datang ke kos pengadu dengan alasan mengantarkan minyak untuk mengobati pengadu,” kata dia.
Dalam kesempatan itu, Krispianus melakukan upaya pemerkosaan dan sejumlah aksi kekerasaan seksual. Namun Christiana Gaurau selaku pengadu dan korban berhasil menghindar meninggalkan lokasi.
Raka Sandi menjelaskan dalam putusan bahwa Krispianus telah melakukan kekerasan seksual berulang kali.
Modusnya beragam dari panggilan video call, hingga pelecehan seksual berupa foto tak senonoh dari Krispianus. Bahkan dalam sejumlah kesempatan, Krispianus melakukan upaya pengaturan perjalanan dinas agar bisa melakukan pelecehan seksual bersama teradu.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.