Tajukflores.com – Sejak diluncurkan pada 11 Februari 2022, Kurikulum Merdeka dianggap sebagai langkah reformasi pendidikan yang lebih sederhana dan fleksibel, dengan tujuan mendukung learning loss recovery akibat pandemi Covid-19 dan mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia dari negara-negara lain.
Namun, peluncuran kurikulum ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan praktisi pendidikan terkait implementasinya yang dianggap belum sesuai dengan kondisi pendidikan nasional.
Salah satu polemik terkait penggunaan istilah “merdeka”, yang bagi sebagian pihak diartikan sebagai kebebasan dari segi struktur, waktu, dan proses pelaksanaan pendidikan.
Terlebih lagi, pelaksanaan kurikulum ini awalnya ditawarkan hanya sebagai opsi bagi lembaga pendidikan yang siap melakukan transformasi. Sementara yang belum siap masih dapat menggunakan kurikulum 2013.
Pemberian opsi pada satuan pendidikan untuk memilih menggunakan Kurikulum Merdeka atau Kurikulum 2013 membuat kurikulum ini terkesan sebagai program yang hanya sekedar ada.
Namun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Nadiem Makarim melalui siaran pers pada 15 Juli 2022, memastikan bahwa kurikulum merdeka akan tetap diterapkan secara bertahap mulai tahun 2023, sesuai dengan kesiapan masing-masing institusi pendidikan, sebelum ditetapkan secara nasional pada tahun 2024.
Transformasi
Menurut World Population Review tahun 2021, pendidikan di Indonesia berada di peringkat 54 dari 78 negara. Hal ini merupakan sebuah tamparan keras bagi pendidikan di Indonesia sebab merepresentasikan ketidakmampuan Indonesia dalam bersaing dengan negara lain dalam bidang pendidikan.
Sebagai respons, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mencoba menawarkan Kurikulum Merdeka sebagai upaya untuk memperbaiki proses pendidikan di Indonesia.
Perubahan kurikulum ini bukan hanya inisiatif baru dari Menteri Pendidikan, melainkan hasil dari identifikasi menyeluruh terhadap kelemahan pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Hasil riset lembaga independen World Population Review dan data sebaran hasil evaluasi pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih belum mampu mempersiapkan anak untuk mengikuti perkembangan zaman.
Di tengah perkembangan dunia yang semakin tak terbatas dan persaingan penemuan teknologi terbarukan semisal kecerdasa buatan (AI), maka siswa di Indonesia perlu dipersiapkan untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
Hal ini sejalan dengan perubahan karakteristik siswa secara global yang ranah pikir dan keterampilannya sudah tidak lagi sesuai dengan karakteristik siswa satu dekade yang lalu misalnya.
Perubahan karakteristik ini mau tak mau harus diselaraskan dengan perubahan pendidikan sehingga siswa mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan jika mungkin bersaing dengan siswa dari negara lain dalam hal prestasi.
Refleksi
Perubahan kurikulum memang bukan perkara mudah. Diperlukan data akurat dan refleksi mendalam terhadap hasil evaluasi pendidikan untuk memastikan perubahan tersebut tepat sasaran dan tidak terkesan asal-asalan.
Refleksi yang jujur dan berani menjadi kunci untuk menilai kelebihan dan kelemahan sistem pendidikan di Indonesia. Proses ini penting untuk mengidentifikasi kelemahan dan menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat.
Tanpa refleksi dan identifikasi yang menyeluruh, pendidikan akan terus terjebak dalam zona nyaman dan gagal menjawab tantangan zaman, seperti revolusi industri 4.0 dan surplus tenaga kerja.
Refleksi dan identifikasi kelemahan pendidikan yang dilakukan secara jujur, terencana, dan terukur memungkinkan kita untuk memahami sejauh mana sistem pendidikan telah menghasilkan individu yang unggul dan berdaya saing.
Pemahaman ini menjadi pendorong untuk melakukan transformasi pendidikan yang komprehensif dan berkelanjutan, menuju pendidikan yang memerdekakan dan menghasilkan generasi penerus yang mampu menjawab tantangan masa depan.
Bahwa pendidikan yang memerdekakan bukan hanya tentang mencetak lulusan yang pintar secara teoritis, tetapi juga individu yang mandiri, berdaya saing, dan mampu mengaplikasikan keterampilannya dalam dunia kerja.
Lulusan yang tidak mampu bekerja secara mandiri dan bergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan dan mencari nafkah tidaklah merdeka.
Opini oleh Anastasia F. Marezki, S.Pd., Gr
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.