Tajukflores.com – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengungkapkan keprihatinannya terhadap proses seleksi calon siswa (casis) taruna Akademi Kepolisian (Akpol) dari Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2024 yang sebagian besar diduga merupakan anak-anak non-NTT.

Menurutnya, ada ketidakberesan dalam proses tersebut jika mayoritas peserta yang diterima berasal dari luar daerah, terutama dari kalangan tertentu seperti orang Batak.

“Jadi kita pertanyakan, mereka peserta ini SMA-nya di NTT atau mereka orang dari luar? Kalau mereka SMA dari luar, ini isu nepotisme sangat menonjol,” kata Sugeng saat dihubungi Tajukflores.com, Minggu (7/7).

Kelulusan 11 casis Akpol asal Polda NTT tahun 2024 menuai protes dari warga NTT di media sosial. Pasalnya, mayoritas casis yang lolos ke Mabes Polri untuk mengikuti seleksi selanjutnya bermarga Batak alias diduga bukan asli orang NTT.

Protes ini muncul di media sosial setelah pengumuman kelulusan casis Taruna Akpol Panda Polda NTT tahun ajaran 2024 pada Rabu (3/7).

Adapun 11 casis Akpol itu adalah Yudhina Nasywa Olivia (Wanita), Arvid Theodore Situmeang, Reynold Arjuna Hutabarian, Mario Christian Bernalo Tafui, Bintang Lijaya, Ketut Arya Adityanatha, Brian Lee Sebastian Manurung, Timothy Abisai Silitonga, Muhammad Rizq Sanika Marzuki, Madison Juan Raphael Karna Silalahi, dan Lucky Nuralamsyah.

Sugeng menegaskan bahwa seperti Papua yang diberi kesempatan lebih besar dalam rekrutmen kepolisian, hal yang sama seharusnya berlaku untuk NTT. Jika banyak peserta yang diterima berasal dari luar daerah, hal ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai proses seleksi yang ada.

“Kalau di NTT mayoritas dari daerah tertentu ya ini jadi tanda tanya,” katanya.

Sugeng mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kemungkinan adanya nepotisme dalam proses rekrutmen. Ia menyatakan bahwa jika mayoritas peserta yang diterima bukan merupakan penduduk asli NTT atau tidak menempuh pendidikan di NTT, maka isu nepotisme semakin menguat.

Ia menganggap bahwa hal ini perlu diaudit oleh panitia untuk memastikan transparansi dan keadilan dalam proses seleksi.

“Bukan nepotisme kalau mereka itu dari kecil memang mereka sekolah di sana. Tapi kalau mereka mayoritas SMA di luar tapi mengikuti tes di sana (NTT), ini yang jadi menjadi pertanyaan. Isu nepotismenya semakin kuat. Itu ukurannya,” tegas dia.

Sugeng juga menekankan bahwa orang NTT memiliki kapasitas yang cukup dan banyak orang pintar berasal dari daerah tersebut. Ia menyebutkan bahwa NTT terkenal melahirkan banyak orang cerdas, seperti pastor dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya.

Oleh karena itu, ia mempertanyakan mengapa banyak peserta rekrutmen yang diterima bukan berasal dari NTT.

Untuk menjawab pertanyaan dan kekhawatirannya, Ketua IPW ini menyarankan agar proses rekrutmen casis taruna Akpol Polda NTT tahun 2024 diaudit. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah mayoritas peserta yang diterima memang menempuh pendidikan di NTT atau berasal dari luar daerah.

Ia menekankan pentingnya transparansi dalam proses seleksi untuk menghindari tuduhan nepotisme dan memastikan bahwa penduduk lokal mendapatkan kesempatan yang adil.

“Ya karena itu dipertanyakan. Perlu diaudit oleh panitia, apakah menunjukkan orang NTT tidak punya kapasitas? Padahal orang NTT, banyak pastor, banyak orang pintar-pintar. NTT terkenal melahirkan orang pintar. Makanya saya mempertanyakan ini,” pungkas Ketua IPW.

Sebelumnya, hal senada disampaikan anggota Komisi III DPR RI, Benny K Harman. Ia menilai penting bagi Panitia Seleksi Mabes Polri untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik apakah benar dari 11 taruna Akpol Polda NTT yang dinyatakan lolos benar-benar memiliki KTP NTT atau NTT hanya dipakai sebagai tempat untuk sekadar memenuhi kuota setiap provinsi.

“Jika perlu, audit prosesnya, dan jika ini yang terjadi, sebaiknya 11 orang yang dinyatakan lulus ini segera dianulir,” ujar Benny saat dimintai tanggapannya oleh Tajukflores.com, Minggu (7/7).

Sebaliknya, kata Benny, jika proses seleksi taruna Akpol yang dilakukan Panitia Seleksi Mabes Polri benar-benar obyektif dan transparan, bukan titipan anak-anak pejabat, tidak ada nepotisme, dan benar-benar telah mempertimbangkan keadilan wilayah, maka masyarakat NTT harus menghormati proses seleksi taruna Akpol yang dilakukan.

“Maka saya juga meminta masyarakat NTT harus menghormati proses seleksi taruna Akpol yang dilakukan,” kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini.

Benny juga menekankan bahwa sistem rekrutmen taruna Akpol seharusnya dilakukan secara terbuka, transparan, akuntabel, dan obyektif serta nondiskriminatif, jauh dari nepotisme dan titipan anak-anak pejabat.

“Tentunya dengan mempertimbangkan keadilan wilayah nusantara dan keseimbangan daerah,” ujar Benny.

Apa Respon Polda NTT?

Kapolda NTT Irjen Daniel Tahi Monang Silitonga menegaskan bahwa penerimaan casis Akpol, Bintara, hingga Tamtama Polri telah melalui mekanisme yang berlaku dan tanpa intervensi.

“Saya selaku Kapolda tidak bisa intervensi atau mempengaruhi hasil yang di laksanakan oleh Panitia yang diawasi oleh Internal Polri maupun pengawas eksternal dari masyarakat, perwakilan orang tua dan akademisi,” kata Daniel kepada wartawan Sabtu (6/7), dikutip dari Pos Kupang.

Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy menyatakan bahwa proses rekrutmen dilakukan secara terbuka dan transparan.

“Sehingga lulusan SMA/SMK yang memenuhi syarat bisa mendaftar ke Polres. Proses seleksi administrasi dilakukan secara berjenjang di tingkat Polres dan Panda Polda NTT,” jelasnya.

Ariasandy menambahkan bahwa selama proses rekrutmen berlangsung, pengawasan ketat dilakukan oleh internal maupun eksternal Polri.

“Selama pelaksanaan proses, semua tahapan diawasi secara ketat oleh pengawas internal (Itwasda dan Propam) serta pengawas eksternal dari berbagai kalangan seperti IDI, Himpsi, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, jurnalis, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pemuda dan Olahraga, LLDikti, Bidang Meteorologi,” terangnya.

Setiap tahapan tes, lanjut Ariasandy, dilakukan secara transparan dengan sistem one day service di mana hasilnya langsung diumumkan pada hari itu juga.

“Ujian psikologi dan akademik dilakukan menggunakan sistem CAT dengan fasilitas laboratorium komputer di sejumlah sekolah di Kota Kupang,” ujarnya.

Ariasandy menekankan bahwa panitia tidak dapat mengubah hasil perolehan nilai karena sudah diolah dalam sistem dan peserta sudah mengetahui nilai setiap selesai tahapan pendaftaran.

“Seluruh hasil tes langsung ditayangkan dan ditandatangani peserta serta pengawas. Setiap habis pelaksanaan tes, peserta juga dipersilahkan mengisi survei kepuasan yang dilakukan secara terbuka,” ungkapnya.